persembahan LifeLike Pictures
Hans adalah seorang pemuda dari Serui, Papua, yang mempunyai mimpi menjadi pemain bola profesional. Namun nasib berkata lain, dan ketika Hans hampir kehilangan harapannya untuk hidup, ia bertemu dengan Mak, pemilik rumah makan Padang (lapau). Di tengah perbedaan Hans dan Mak, mereka menemukan persamaan. Makanan merupakan iktikad baik untuk bertemu, dan lewat makanan dan masakan, Hans kembali menemukan mimpi dan semangat hidup.
Di Balik Layar
Salah satu undangan workshop pertama yang tim Tabula Rasa terima datang dari sebuah universitas di Jakarta, Universitas Mercu Buana. Dalam rangka memenuhi undangan mereka, pada 16 Mei 2014, Associate Producer Vino G. B...
Selalu ada makna tersirat dari setiap kursi, jendela, panci, piring dan segala benda lainnya di dalam sebuah film. Seorang sutradara mempunyai sebuah visi tertentu, sebuah konsep visual yang ia diskusikan dengan seoran...
Lebih dari 20.000 pengunjung memadati Parkir Timur Senayan pada Minggu (20 Oktober 2013) untuk menhadiri hari kedua pagelaran Hai Day yang sedang merayakan ulang tahunnya. Sebagian besar pengunjung merupakan siswa-sisw...
Social Media Festival yang memasuki tahun ketiga mengalami perbedaan dibanding dua tahun sebelumnya. Di tahun ketiganya ini jumlah pengunjung mengalami kenaikan tiga kali lipat dibandingkan tahun 2011, tahun pertama ac...
Memerankan sebuah karakter adalah pekerjaan dari seorang aktor. Mulai dari karakter dengan latar belakang yang berbeda-beda sampai dengan karakter yang berbicara menggunakan bahasa dan dialek asing – semuanya harus da...
Adzan Tri Budiman atau yang lebih dikenal dengan Chef Adzan, menghabiskan waktunya bekerja di Hotel Hyatt, sebelum akhirnya memulai karirnya sebagai konsultan cafe dan restoran dan membuka restoran pribadinya.
...
Dewi Irawan adalah anak ketiga dari pasangan aktor Ade Irawan dan Bambang Irawan (1932-1979). Dari kelima anak Bambang Irawan, hanya dua yang masuk dalam dunia industri film—Dewi dan adiknya, Ria Irawan. Di bawah asuhan ayahnya, Dewi selalu akrab dengan dunia akting, bahkan semenjak ia di taman kanak-kanak. Namun akting bukan satu-satunya hal yang menarik bagi dirinya; ia mahir dalam beberapa tarian tradisional dan juga dalam olahraga, sebelum ia kemudian memulai untuk menjadi terkenal karena perannya dalam film “Belaian Kasih” (1973).
Melalui film Chaerul Umam (1982) “Titian Serambut Dibelah Tujuh”, Dewi meraih nominasi FFI (Festival Film Indonesia) sebagai aktris pemimpin terbaik pada 1983. Namun, perannya dalam “Sang Penari” 28 tahun kemudian yang membuahkan piala FFI pertamanya, kali ini dalam kategori aktris pendukung.
Filmografi pilihan:
Pemuda ceria 21 tahun ini lahir di dataran tinggi yang indah—Wamena, Papua. Ketika ia SMA, ia aktif dalam program radio di sekolahnya sebagai penyiar dan pemain dalam drama radio yang berhubungan dengan HIV dan AIDS—masalah yang sangat dekat dengan kehidupan di Provinsi Papua. Jimmy menyadari tentang bagaimana pentingnya untuk menaikkan kesadaran masyarakat akan masalah-masalah tersebut, sehingga semasa SMA ia menghabiskan waktu luangnya sebagai penyuluh di LSM, membantu dalam konseling masyarakat tentang HIV dan AIDS. Pada 2010, Jimmy menjadi anggota dari Badan SAR Nasional sebagai penyelamat dan pada 2012 melalui pelatihan selama 3 bulan, ia berhasil sampai ke grup khusus Basarnas (Basarnas Special Group) di Jakarta.
Ketika ia masih tinggal di Wamena, Jimmy dilibatkan dalam produksi film “Cinta dari Wamena”, dimana dia pertama dikenalkan dengan industri film. Aktingnya yang natural di depan kamera menyebabkan dia diberikan sebuah peran kecil dalam film itu.
Tabula Rasa akan menjadi debut filmnya sebagai aktor utama.
Lebih akrab dikenal dengan panggilan Ozzol di antara rekan-rekannya, wajah Ramdan Setia mungkin akrab bagi kebanyakan penonton karena perannya di 2 sitkom terkenal—Bajaj Baru Bajuri dan Suami-suami Takut Istri. Ramdan menyadari tentang ketertarikannya dalam akting di usia muda, dan selama SMA ia aktif dalam berbagai teater dan kabaret dan akhirnya bergabung dengan Grup Teater Bandung pada 1998. Dalam 2 tahun berikutnya, ia mengajarkan murid-murid SMA dalam ekstrakurikuler teater dan kabaret. Sejak itu, ia telah membintangi beberapa film TV dan serial TV, dari aksi sampai komedi, dan juga beberapa film layar lebar.
Filmografi pilihan:
Lahir di Ujung Pandang pada 4 Juli 1962, Yayu Unru pertama kali mendapat pendidikan aktingnya melalui Institut Kesenian Jakarta, dimana ia masih mengajar sebagai dosen di departemen teater. Sejak 1987, Yayu sudah menjadi bagian dari kelompok teater pantomim Dwi Sena Mime, yang didirikan oleh para aktor veteran Didi Petet dan alm. Sena Utoyo. Sebagai artis pantomim, ia sudah tampil di berbagai festival pantomim di Eropa.
Saat ini Yayu aktif sebagai aktor film dan teater, dosen, dan juga pelatih akting. Aktor kawakan kelahiran Makassar ini siap menyambut tantangan untuk memerankan seorang juru masak berdarah Minang di Tabula Rasa.
Filmografi pilihan:
Sheila Timothy tumbuh dalam industri periklanan dan musik. Ia juga memimpin PT. Remaco yang merupakan sebuah perusahaan rekaman yang didirikan pada tahun 70an oleh Ayahnya, Eugene Timothy. Di tahun 2008 ia menemukan passion pada industri perfilman dan memproduseri film Pintu Terlarang (Joko Anwar) dengan rumah produksi yang baru didirikannya, LifeLike Pictures. Film tersebut meraih penghargaan film terbaik di Puchon International Fantastic Film Festival (PIFAN) di tahun 2009.
Mengakui kesulitan dalam mendapatkan bakat-bakat baru, di tahun 2011 Sheila Timothy mengadakan Fantastic Indonesian Short Film Competition (FISFiC) dalam upayanya mencari bakat baru di industri perfilman Indonesia.
Ia memproduseri film keduanya di tahun 2012, Modus Anomali, film yang juga ditulis dan disutradarai oleh Joko Anwar. Pemutaran pertamanya dilangsungkan di South by Southwest Film Festival (SXSW) pada Maret 2012, lalu bulan selanjutnya disusul di Indonesia. Sukses di pasar asing dan lokal, Modus Anomali juga diputar di Jerman, Prancis, Benelux, Turki dan Inggris.
Saat ini Sheila Timothy sedang menggarap film ketiganya, Tabula Rasa. Sebuah film drama keluarga yang memasukkan budaya makanan dan bagaimana hubungan perbedaan antar umat manusia. Disutradarai oleh Adriyanto Dewo, film ini direncanakan rilis pada bulan September 2014.
Filmografi pilihan:
Setelah lulus Sekolah Menengah Atas, Adriyanto Dewo tercatat menjadi menjadi Mahasiswa Institut Kesenian Jakarta. Aawalnya Adri sangat tertarik dengan animasi, karena kegemarannya menggambar. Seminggu setelah ia memasuki jurusan animasi, pertemuannya dengan karya klasik Vittorio De Sica, The Bicycle Thief, membangun impian baru padanya untuk menjadi sutradara film.
Pada tahun 2008, ia menyutradarai film untuk tugas akhirnya yang berjudul The Storyteller. Di tahun 2010, saat ia sedang bekerja sebagai crew untuk sebuah produksi film di Hongkong, ia mendapatkan akses untuk menggunakan kamera film 35 mm untuk membidik film pendeknya selanjutnya, Nyanyian Para Pejuang Sunyi. Filmnya tersebut mengikuti beberapa festival film yang diadakan di berbagai negara dan termasuk di Indonesia. Film itu juga mengantarkannya memenangkan penghargaan sutradara terbaik di Festival Film Indonesia keenam di Melbourne, Australia. Di tahun 2012, ia menyutradari dua film pendek yang masing-masing tergabung dalam film omnibus, yang pertama Pasar Setan yang merupakan bagian dari film omnibus Hi5teria dan Menunggu Warna dalam omnibus Sanubari Jakarta. Pada bulan Mei 2014, Menunggu Warna terpilih sebagai pemenang kompetisi film pendek yang diadakan Europe on Screen, Indonesia.
Dapur bukanlah sebuah tempat yang asing bagi Adri, tema makanan dan nostalgia menjadi hal yang alami buatnya, “Film ini akan terasa seperti mencicipi kembali makanan kesukaan kita saat kecil, penuh harmoni rasa rindu dan memory yang terlintas di benak kita saat melahap di suapan pertama.”
Tabula Rasa akan menjadi film panjang pertamanya.
Filmografi pilihan:
Setelah merampungkan pendidikan sarjananya dibidang Matematika di Institut Teknologi Bandung, Tumpal menuliskan naskah film pertamanya yang berjudul The Last Believer, yang juga menjadi pemenang untuk kategori Best Short Fiction dalam Jakarta International Film Festival (Jiffest) Script Development Competition. Pengalamannya terjun langsung ke dunia perfilman menjadi pengalaman yang tidak terlupakan dan ia menjadi satu dari lima yang hadir pada Asian Young Filmmakers Forum di Jeonju, Korea Selatan. Tinggal di sana selama setahun, ia membuat film pendek selanjutnya yang berjudul Drum Lesson yang diputar di beberapa negara di Asia.
Karirnya semakin maju ketika di tahun 2009 ia berpartisipasi dalam Berlinale Talent Campus. Di tahun selanjutnya, Tumpal mendapat kesempatan hadir pada ajang bergengsi, Asian Film Academy di Busan, Korea Selatan. Di tahun 2011, Tumpal juga menjadi satu dari sembilan sutradara dalam sebuah film omnibus, Belkibolang, yang diputar di berbagai macam festival film manca negara, seperti Rotterdam International Film Festival, Hongkong International Film Festival, dan masih banyak lagi.
Tabula Rasa menjadi film ketiganya sebagai penulis naskah.
Filmografi pilihan:
Muncul pertama kali pada film 30 Hari Mencari Cinta sebelas tahun yang lalu, figur Vino telah muncul di berbagai jenis panggung hiburan Indonesia. Anak keempat dari penulis Bastian Tito, Vino sudah gemar menonton film sejak kecil dan merasa mempunyai ikatan dengan film. Hingga kini, Vino sudah membintangi 18 judul film layar lebar, 3 sinetron, dan dibanyak judul film televisi. Ia juga dipercaya untuk menjadi brand ambasador untuk berbagai produk. Di tahun 2008 penampilannya sebagai seorang pemuda yang berjuang melawan ketergantungannya terhadap obat-obat terlarang menjadi titik baliknya yang membuatnya memenangkan kategori Aktor Terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI).
Berkat kerja keras, bakat, dan pesonanya, Vino memiliki fanbase yang kuat di seluruh Indonesia. Penggemar Vino ini menyebut diri mereka sebagai VGB Friends, dan sudah muncul di berbagai kota di luar Jakarta. Tabula Rasa akan menjadi debut pertamanya di balik layar sebagai Associate Producer. Ia menerima tantangan untuk keluar dari zona nyamannya untuk memulai sesuatu yang baru. Ia percaya akan proses, film adalah sebuah karya yang mencerminkan karakter dan sejarah para pembuatnya.
Filmografi pilihan:
Setelah merampungkan kuliahnya di Universitas Indonesia dengan konsentrasi pendidikan sosial politik, Sari yang sering disapa dengan Ai, bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang Lingkungan Hidup dan Energi Terbarukan selama enam tahun, sampai ia dipertemukan dengan film. Di tahun 1998 – 1999, Ai mendapatkan kesempatan untuk mencoba menjadi bagian dari produksi film dengan menjadi bagian untuk beberapa acara TV dan film layar lebar Pasir berbisik. Dua tahun kemudian, ia menjadi line producer film ketiga Nan Achnas, Bendera. Ia percaya bahwa dunia produksi film merupakan sebuah “keajaiban” yang bersinergi dengan kepercayaan serta kesempatan dalam rangkaian proses kerja dan kerjasama dalam menghasilkan karya untuk dinikmati orang banyak. Dan “keajaiban-keajaiban’’ itulah yang membuatnya terus bertahan mencintai profesi ini hingga sekarang.
Selain menjadi seorang line producer, Ai juga dikenal dengan keterlibatannya di Jakarta International Film Festival (Jiffest), mempunyai andil dalam 9 dari 12 acara tersebut, dan ia juga terlibat di banyak festival film lain. Semenjak 2001, Ai telah bergabung sebagai line producer di 14 judul film layar lebar dan Tabula Rasa akan menjadi film ke-15-nya.
Filmografi pilihan:
Karir Lia di industri sinematografi dimulai dengan permulaan yang unik, Ibunya yang berjasa memasukannya ke dalam industri itu. Mempunyai pandangan sendiri tentang profesi seorang juru kamera, sang Ibu meyakinkannya untuk masuk ke Institut Kesenian Jakarta, yang ternyata menjadi pilihan yang tepat. Studinya di IKJ mengasah kemampuannya sebagai seorang sinematografer dan juga memperlihatkan bakatnya.
Selama ia kuliah, Lia terlibat di banyak produksi film para seniornya. Sebagai asisten kamera, Lia sudah terlibat dalam puluhan produksi film, diantaranya Babi Buta yang Ingin Terbang dan Kebun Binatang, yang ikut berkompetisi di ajang Berlin International Festival ke-62 pada tahun 2012. Ellen Kuras dan Victorio Storaro adalah Director of Photography yang menjadi inspirasinya, dan sebagai Director of Photography, Lia sudah mengerjakan dua film omibus dan tiga film panjang. Tabula Rasa akan menjadi film panjangnya yang keempat.
Filmography pilihan:
Selalu menyukai film sejak kecil, Meirina berniat mendaftarkan dirinya pada Institut Kesenian Jakarta setelah lulus Sekolah Menengah Atas, namun pada akhirnya ia mempelajari periklanan di London School. Dibekali dengan gelar sarjana, ia bertekad untuk bekerja di industri perfilman dan pengenalan pertamanya adalah dalam produksi film Cinta Dari Wamena. Di sini ia merangkap berbagai pekerjaan, seperti PA, data camera manager, dan juga production manager di Jakarta.
Meirina mendapat banyak pengalaman hidup yang tak terlupakan ketika ia berwisata mengelilingi 33 provinsi di Indonesia selama lima bulan pada tahun 2012 sebagai floor director di acara Cerdas Cermat MPR RI, sebuah quiz edukasi di TVRI. Saat ini ia menduduki peran sebagai casting director, dan ia memulai profesi ini pada film Arisan! 2 (2011). Ia sadar dengan talentanya dalam menemukan karakter pada diri seseorang—sebuah talenta yang terus ia asah dan bagikan.
Pada tahun 2013 Meirina memproduksi film pendek berjudul Mati di Ibukota Mahal. Tabula Rasa menjadi film ketiganya sebagai casting director.
Filmografi pilihan:
Mengedit film merupakan tantangan yang dicintai Dinda. Seperti menyusun potongan-potongan puzzle, lulusan Institut Kesian Jakarta ini menyadari mengedit film merupakan sesuatu yang menatang dan menarik. Pengalaman pertamanya adalah mengedit film secara analog, sebuah proyek seniornya di IKJ, dalam format film 16 mm. Semenjak itu, ia bekerja di banyak judul film sebagai assistant editor, dan sebagai editor diberbagai serial TV, iklan TV, dan tahun lalu ia juga mengerjakan film dokumenter berjudul Symphonic Tales of Indonesia. Karyanya di film Catatan (Harian) Si Boy memenangkan kategori Best Editor dalam penghargaan FFI 2011.
Selain menjadi editor film, mungkin orang juga mengenal Dinda sebagai musisi yang handal, yang sedang menyiapkan album keduanya. Ia menjadi produser, komposer, arranger, music director, gitaris, dan vokalis di berbagai karya-karya indie. Albumnya yang berjudul The Journey Called A dirilis menggunakan nama Amanda & Friends di tahun 2012 dan salah satu lagunya masuk ke dalam penghargaan AMI (Anugrah Musik Indonesia) untuk nominasi Lagu R&B/Hip-Hop Terbaik 2013.
Tabula Rasa adalah film panjang ketiganya sebagai editor.
Filmografi pilihan:
Saat Indra duduk di bangku SMP pada umur 12 tahun, ia bergabung dengan Mandarava Corps Marching Band sebagai pemain bariton dan semenjak itu, ia tidak pernah meninggalkan musik. Ia memulai pendidikannya di Institut Musik Daya Indonesia (IMDI) pada tahun 2001 dan lulus pada tahun 2006. Mengambil jurusan double bass, Indra mempunya background kental di musik jazz dan ia sudah bergabung menjadi basis pada grup jazz Tomorrow People Ensemble, sejak didirikan pada tahun 2005. Satu tahun setelah ia lulus dari IMDI, ia melanjutkan pendidikannya dalam bidang film scoring di UCLA Extension, Los Angeles, di mana ia mendapat kesempatan belajar dari berbagai komposer film terkemuka.
Sekembalinya ia ke Jakarta pada tahun 2009, Indra mengajar di almamaternya selama satu tahun dan juga terlibat di berbagai projek dengan berbagai musisi, seperti Indra Lesmana, Jamie Aditya, Anda Perdana, Andien, Titi Sjuman, Aksan Sjuman dan Committee f the Fest, dan masih banyak lagi. Indra sudah bekerja sebagai arranger dan orchestrator diberbagai judul film, sebagian besar bekerja dengan Aksan Sjuman. Tabula Rasa menjadi debutnya sebagai music director di film panjang.
Filmografi pilihan:
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Institut Kesenian Jakarta pada awal tahun 90an, sudah lebih satu dekade Iqbal berkecimpung di industri film sebagai seorang art director. Dikenal sebagai orang yang sangat menjaga privasi, pecinta alam ini sudah berjelajah ke berbagai daerah untuk memuaskan hasrat memanjat gunungnya. Karya terakhirnya, Belenggu, mengantarkannya sebagai pemenang untuk kategori Best Art Director Festival Film Indonesia (FFI) di tahun 2013.
Bersama dengan tim Artworkers Indonesia, Iqbal tergabung dalam film Tabula Rasa.
Filmografi pilihan:
Di awal tahun 90, siaran televisi komersial baru saja mulai marak di Indonesia. Melihat kemajuan dunia televisi, Adit memutuskan untuk mendaftarkan dirinya di Institut Kesenian Jakarta dengan konsentrasi sound design dengan harapan mendapat kerja di industri pertelevisian. Namun pada akhirnya ia jatuh cinta pada industri perfilman. Tumbuh di samping Ayah yang penggila HiFi dan kakak yang tertarik dengan electro physics, bukan menjadi hal yang asing baginya untuk berkenalan dengan dunia audio.
Seperti mahasiswa Institut Kesenian Jakarta pada umumnya, Adit pertama kali mendapat kesempatan bekerja pada produksi film dari proyek seniornya. Ia terjun ke industri film saat masih berstatus mahasiswa dengan mengerjakan banyak karya untuk departemen audio. Pengalaman pertamanya di industri film pada tahun 1993 tidak terlalu indah, saat itu perfilman Indonesia sedang mati suri. Di tahun 2000, Adit mendapat pekerjaan pertamanya sebagai sound designer dalam film Petualangan Sherina. 14 tahun kemudian, ia tetap merasakan gairahnya dalam pekerjaanya, dan selalu merasa tertantang untuk melakukan sesuatu yang di luar ekspektasi.
Memulai karirnya sebagai basis band rock, Ichsan tidak pernah meninggalkan musik sejak usia belianya. Saat di bangku SMA, ia sering mendapat tawaran di berbagai pertunjukan musik sebagai sound engineer. Setelah terbiasa dengan audio, ia mendaftarkan dirinya di Institut Kesenian Jakarta untuk melampiaskan rasa ingin tahunya terhadap music design, untuk mempelajari perbedaan di antara suara dalam musik dan film.
Enam tahun setelah karya pertamanya sebagai sound recordist di film Mereka Bilang Saya Monyet!, Ichsan masih merasa profesi yang digelutinya sangat menarik. Tidak hanya tertantang untuk merekam secara jernih suara yang dapat digunakan, tapi juga untuk membuatnya terdengar sealami mungkin. Ichsan juga pernah bergabung di berbagai produksi internasional, seperti Kinks, V/H/S/2 dan The Raid 2. Saat ini ia aktif bekerja di film layar lebar, dokumenter, dan iklan TV.
Filmography pilihan:
Mengambil jurusan Ekonomi di Universitas Atma Jaya, Titis tidak terbayang akan terbenam di bisnis perfilman. Dimulai pada tahun 2008, ketika ia menjadi publisis untuk dua film, ia membuat jalanya masuk ke industri ini dan tidak pernah meninggalkannya sejak saat itu. Pada tahun 2009, bersama dua temannya, ia mendirikan majalah Flick yang merupakan majalah film berbasis online pertama di Indonesia. Berbarengan dengan itu, ia juga menjabat sebagai founder dan Chief Executive Officer dari Movieholic Production, sebuah rumah produksi yang fokus kepada produksi dan distribusi video online. Passionnya terhadap film dan hasil karyanya saat itu menuntunnya menjadi finalis ajang International Young Creative Entrepreneur (IYCE), ajang yang diprakarsai oleh British Council Indonesia. Titis sadar akan pentingnya publistitas dan marketing dalam dunia perfilman Indonesia dan bagaimana itu sering terabaikan, dan itu membuatnya terus aktif di dalam dunia tersebut.
Sebagai pembuat film, Titis memproduseri film pendek berjudul Taksi yang menang di ajnag FISFiC (Fantastic Indonesian Short Film Competition), sebuah kompetisi film yang digagas oleh LifeLike Pictures dan diputar di INAFF di tahun 2011. Taksi juga menjadi perwakilan Indonesia di ajang PiFan (Puchon International Fantastic Film Festival) di Korea Selatan tahun 2012. Sebelum bergabung dengan Tabula Rasa, Titis terlibat dalam promosi dan aktivitas media sosial di film Finding Srimulat tahun 2013 dan juga memproduseri karya dokumenter hasil kolaborasi Jamaica dan Indonesia yang bercerita tentang musik reggae di Indonesia, yang akan dirilis pada tahun 2014.
Cika Landis lahir dengan nama Siska Rianda pada 8 Agustus 1986. Karena suka melukis, Cika kuliah dengan jurusan Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta, pada saat bersamaan juga mengambil minor di bidang tata rias. Ia menyelesaikan tugas akhirnya di IKJ pada tahun 2009 dalam dua departemen—tata rias dan kostum. Film layar lebar pertama Cika adalah Merah Itu Cinta (2006), pada film tersebut Cika bekerja selaku asisten di departemen wardrobe.
Lukisan-lukisan Cika seringkali dideskripsikan dengan kata naif dan sampai hari ini ia masih melukis, secara profesional maupun sekedar hobi. Lukisan bukan satu-satunya bentuk seni yang digemari Cika, ia juga sangat menyukai tato dan memiliki 12 tato pada tubuhnya. Sejak 2010, ia menjadi vokalis band indie jazz-reggae bernama Alaska-Q, dan baru merilis album perdana bersama mereka pada bulan Mei tahun ini. Cika saat ini aktif sebagai make-up artist dan wardrobe stylist di berbagai film layar lebar maupun iklan.
Tabula Rasa adalah proyek pertamanya di departemen wardrobe tahun 2014 ini.
Filmography pilihan:
Lahir di Cirebon dan besar di Jakarta, perkenalan Didin Syamsyuddin kepada industri film bukanlah sebagai make-up artist, namun sebagai peran pembantu dalam tiga film layar lebar di tahun 1972. Setelah itu, Didin bekerja di berbagai bagian dalam industry, sampai pada akhirnya ia belajar menjadi make-up artist di bawah pimpinan Hari Hendrawan. Film pertamanya sebagai make-up artist adalah Perkawinan Dalam Semusim (Teguh Karya, 1976). Tapi yang banyak mempengaruhi karirnya adalah pertemuan dengan dengan ratu horor Indonesia, Suzanna, pada tahun 1980, pada film Sundel Bolong. Ia bekerja bersama Suzanna hampir dalam semua film-filmnya semenjak itu.
Sekarang berumur 61 tahun, Didin sudah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya sebagai make-up artist dan sudah bekerja dalam 116 film layar lebar dan juga banyak sinetron.
Tabula Rasa merupakan film ketiganya bersama LifeLike Pictures.
Selected filmography: